Senin, 20 Desember 2010

Jagung dan dunia Peternakan

Tanaman jagung memiliki nilai ekonomis yang tinggi, selain buahnya yang menjadi makanan pokok di berbagai daerah di Indonesia, hasil ikutannya pun memiliki nilai ekonomis tinggi. Seperti batang dan daun jagung yang masih muda dikenal sebagai jerami jagung dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak. Selain sebagai pakan hijauan ternak, jerami juga dapat digunakan sebagai pakan olahan ternak dalam bentuk hay dan silase. Sisa buah tongkol jagung pun dapat diolah kembali menjadi bahan bakar. agung adalah salah satu produk pertanian yang banyak dihasilkan di negara Indonesia. Pada tahun 2004 produksi jagung nasional mencapai 11.225.243 ton dan meningkat menjadi 12.523.894 ton pada tahun 2005. Pemanfaatan jagung saat ini sangat beraneka ragam mulai dari bahan pangan hingga bioenergi. Buah jagung terdiri dari 30% limbah yang berupa tongkol jagung. Jika dikonversikan dengan jumlah produksi jagung pada tahun 2004 maka negara Indonesia berpotensi menghasilkan tongkol jagung sebanyak 3.757.000 ton. Jumlah limbah tersebut sangat banyak dan akan menjadi sangat potensial jika dapat dimanfaatkan secara tepat.

Pada tahun 2006, luas panen jagung 3,5 juta hektar dengan produksi rata-rata 3,47 ton/ha, produksi jagung secara nasional 11,7 juta ton. Dari hasil produksi ini limbah batang dan daun jagung kering sebesar 3,46 ton/ha, jika di konversikan dengan nilai kalori yaitu 4370 kkal/kg dan potensi limbah batang dan daun jagung kering yaitu sebesar 66,35Gj. Potensi energy limbah komoditas jagung sangat besar dan akan terus meningkat , oleh karena itu pemanfaatan limbah jagung sangat diperlukan untuk mendapatkan keuntungan optimal.


 


Dalam dunia peternakan, jagnung adalah komponen yang sangat penting dalam pembuatan ransum ternak. Komponen utama  pakan ternak adalah jagung, bungkil dan tepung ikan. Dari tiga komponen ini hanya jagung yang sudah bisa diproduksi dalam jumlah memadai. Sementara ketergantungan kita pada bungkil dan tepung ikan masih sangat tinggi. Tahun 1998 Indonesia malahan bisa surplus jagung. Impor kita hanya 298.234 ton, sementara ekspornya mencapai 463.000 ton. Sebelumnya, pada tahun 1997 kita mengalami defisit yang luar biasa. Impor kita mencapai 1.098.012 ton, sementara ekspornya hanya 14.400 ton. Produksi jagung nasional kita rata-rata mencapai 9 juta ton per tahun. Angka konsumsinya meskipun lebih tinggi dari angka produksi, namun belum pernah mencapai 10 juta ton per tahun. Baru selama  dua tahun terakhir ini angka konsumsi kita melampaui 10 juta ton per tahun.

Tahun 1996, kebutuhan jagung untuk pakan ternak mencapai 3,5 juta ton. Tahun 1997 menurun menjadi 2,5 juta ton. Karena krisis ekonomi yang sangat parah, angka tersebut menjadi 1 juta ton pada tahun 1998 dan 1,8 juta ton pada tahun 1999. Sebab pada tahun-tahun tersebut sebagian besar industri perunggasan kita colaps. Di satu pihak, karena adanya krisis ekonomi angka luasan areal penanaman jagung pada tahun 1998 meningkat dari rata-rata sekitar 3,5 juta hektar menjadi 3,9 juta hektar. Ditambah lagi, tingkat keberhasilan panen pada tahun 1998 sangat tinggi akibat kemarau panjang pada tahun 1997,  yang kemudian disusul dengan tingginya curah hujan pada tahun tersebut. Hingga tak mengherankan apabila angka ekspor jagung pada tahun tersebut mengalami lonjakan yang sangat berarti.

Dari gambaran tersebut, sebenarnya kita tidak perlu  terlalu merisaukan komoditas jagung. Sebab defisit  kita yang tercermin dari impor, paling tinggi hanya mencapai 1 juta ton per tahun. Dengan tingkat produksi petani yang hanya sekitar 2,5 ton per musim tanam, maka perluasan areal untuk menutup defisit tersebut hanyalah sekitar 400.000 hektar. Dengan benih hibrida, dengan penanganan budidaya yang benar, petani kita bisa menghasilkan sampai 8 ton pipilan kering per hektar per musim tanam. Sebab meskipun merupakan tanaman pendatang dari benua Amerika, jagung adalah tanaman tropis yang adaptasinya di lahan-lahan Indonesia bisa berjalan dengan baik. Lain halnya dengan kedelai (sebagai bahan bungkil) yang memerlukan panjang hari sampai 17 jam untuk mencapai produksi optimalnya 4 ton per hektar. Di Indonesia, dengan perlakuan apa pun, produksi optimal kedelai  hanya akan mencapai 4 ton per hektar per musim tanam.

Tetapi masalahnya tidak sesederhana itu. Selama ini para petani kita tidak terlalu antusias menanam jagung karena rendahnya harga di tingkat petani. Rata-rata harga jagung kering berkadar air maksimal 15% hanya sekitar Rp 900,- per kg. Kalau kadar airnya mencapai di atas 20%, maka harga yang akan diterima petani bisa turun sampai ke tingkat Rp 500,- per kg. Dengan hasil hanya sekitar 2,5 ton per hektar maka harga jual sebesar Rp 500,- per kg tersebut akan mengakibatkan pendapatan petani hanyalah Rp 1.250.000,- per hektar per musim tanam. Biasanya para petani tidak pernah memperhitungan nilai sewa lahan. Demikian pula halnya dengan tenaga kerja mereka. Namun dengan pendapatan serendah itu, petani sulit untuk menutup biaya benih, pupuk dan  pestisida. Kecuali mereka memperoleh bantuan kredit untuk keperluan budidaya.

Masalah utama yang dihadapi para petani jagung sebenarnya bukan menyangkut aspek budidaya melainkan pada pasca panen.  Panen raya musim tanam I selalu terjadi pada bulan-bulan Januari dan Februari. Pada saat itulah tingkat curah hujan di Indonesia relatif tinggi. Hingga pengeringan dengan mengandalkan panas matahari pasti akan menjadi masalah. Karenanya, sentra-sentra jagung seperti di Lampung dan Jatim, sangat memerlukan dryer berkapasitas besar. Sayangnya, dryer adalah peralatan yang harganya paling tinggi dibanding mesin-mesin lainnya. Kalau mesin pemipil, pemecah dan penepung kapasitas terkecil harganya dibawah Rp 20.000.000,- per unit, maka dryer kapasitas terkecil sudah mencapai Rp 30.000.000,- Jadi sulit diharapkan para petani mampu investasi dryer untuk mengatasi masalah kadar air.

Masalah berikut yang dihadapi petani adalah, mereka sangat memerlukan uang cash pada saat panen. Tidak mungkin petani menahan produk mereka untuk menunggu saat membaiknya harga. Karenanya, untuk membantu para petani, mestinya dialokasikan dana pembelian. Seandainya dana pembelian ini bisa didapatkan oleh koperasi misalnya, masih akan timbul masalah penyimpanan. Selama ini penyimpanan jagung, juga beras, selalu dilakukan dengan menggunakan karung yang ditumpuk dalam gudang. Padahal idealnya penyimpanan produk-produk biji-bijian menggunakan silo. Hingga yang diperlukan oleh sentra-sentra produksi jagung adalah pengadaan dryer, dana pembelian ke petani dan silo sebagai tempat penyimpanan.

Sayangnya, selama ini perusahaan pakan ternak di Indonesia labih berpikiran praktis. Pokoknya kebutuhan jagung pipilan kering berkadar air 14% tersedia. Kalau petani Indonesia tidak bisa memenuhi permintaan mereka, impor pun dilakukan. Departemen Pertanian dan Dinas Pertanian di daerah, pola pikirnya kurang lebih juga  sama. Hingga skim-skim kredit yang dikucurkan ke petani hanyalah untuk keperluan budidaya. Masalah pasca panen dan penanggulangan dana pembelian ke petani tidak pernah mereka sentuh. Kondisi semacam ini setengahnya dimanfaatkan oleh perusahaan pakan ternak untuk memperoleh jagung dengan biaya rendah. Paling tidak hal ini dilakukan oleh para tengkulak yang biasanya merupakan oknum-oknum perusahaan pakan ternak.

Dalih yang paling sering dikemukakan oleh para tengkulak dalam menekan harga di tingkat petani adalah, kualitas jagung kita tidak sebaik jagung impor. Kalau rendahnya mutu jagung lokal dikaitkan dengan masalah kadar air, memang benar. Tetapi dengan penanganan pasca panen yang benar, masalah tersebut dengan mudah bisa diatasi para petani kita. Sebab kenyataannya, jagung lokal kita mutunya justru lebih baik dari jagung impor. Paling tidak jika dibandingkan  dengan jagung eks RRC. Pertama, tingkat kesegaran jagung lokal jelas lebih baik. Sebab jagung-jagung lokal yang beredar di pasaran adalah produk yang baru saja  dipanen. Selain itu kandungan beta karoten jagung lokal kita labih tinggi. Hingga pakan ternak yang menggunakan jagung lokal, akan menghasilkan kuning telur dan daging ayam dengan kualitas yang lebih baik.

Hingga sebenarnya, perusahaan pakan ternak akan cenderung memilih jagung lokal dibanding yang impor. Namun, apabila stok jagung lokal tidak mencukupi, mareka akan mengimpornya. Sebenarnya, kalau kisaran kebutuhan industri pakan ternak maksimal hanya 3,5 juta ton, akan bisa dipenuhi oleh peroduksi kita yang bisa mencapai 10 juta ton. Akan tetapi, jagung produksi nasional tersebut tidak hanya ditujukan untuk pakan ternak. Masih lebih banyak jagung yang dikonsumsi manusia. Baik sebagai nasi jagung, berupa roti,  kue-kue maupun makanan lainnya. Selain itu jagung juga dibutuhkan untuk industri non pakan ternak. Itulah sebabnya secara rutin kita masih akan mengalami defisit maksimal 1 juta ton setiap tahunnya.

Seandainya defisit rutin tersebut bisa kita tutup dengan perluasan areal tanam dan penanganan pasca panen yang benar, bisa saja kita masih akan melakukan impor. Mungkin impor kita akan tetap mencapai angka 1 juta ton. Bisa juga malahan akan semakin besar. Hal tersebut tidak perlu terlalu kita permasalahkan, asalkan ekspor kita bisa mencapai kisaran angka yang lebih besar lagi. Misalnya impor kita 1 juta ton sementara ekspornya mencapai 1,5 juta ton. Sebab dalam era perdagangan bebas, kita tidak hanya boleh mengekspor, melainkan juga wajib mengimpor dengan angka minimal tertentu. Dalam dunia bisnis hal itu biasa. Misalnya kita mengekspor minyak bumi berkadar belerang rendah ke Jepang, tetapi untuk konsumsi dalam negeri kita mengimpor minyak berkedar belerang lebih tinggi  dari timur tengah.

Dengan gambaran permasalahan tersebut, sebanarnya kita tidak perlu terlalu merisaukan permasalahan jagung. Namun mengapa Departemen Pertanian sampai membentuk sebuah lembaga yang disebut Dewan Jagung Nasional? Sebenarnya ini merupakan stretegi perdagangan perusahaan perunggasan multinasional, terutama yang berasal dari AS. Mereka ingin pangsa pasar yang terus meningkat. Padahal, komoditas jagung sudah tidak terlalu menguntungkan untuk ditanam di AS. Karenanya mereka membuang komoditas murah ini ke RRC, India dan Indonesia. Tiga negara dengan potensi pasar terbesar karena jumlah penduduknya. Sebab kalau jagung sudah ditolak oleh petani AS sementara alternatif lain belum ada, maka industri perunggasan akan colaps lagi.

Sebab industri perunggasan tidak melulu menyangkut jagung. Masih ada bungkil, tepung ikan, industri grand-grand parent dan obat-obatan ternak. Semua itu sampai saat ini masih dipegang oleh negara-negara maju, terutama AS. Jadi kalau ada iming-iming dana besar untuk pengembangan komoditas jagung dari AS, kita mesti hati-hati. Bukan berarti harus ditolak, tetapi kita perlu tahu bahwa bantuan apa pun yang kita terima, pasti ada latar belakangnya. Dan latar belakang bantuan untuk pengembangan jagung melalui Dewan Jagung Nasional, adalah salah satu bagian dari agroindustri perunggasan yang melibatkan banyak perusahaan multinasional. Sebab Indonesia dengan jumlah penduduk di atas 200 juta jiwa